Revolusi. Tahu kah kawan akan kata itu? Mungkin semua dari kawan sekalian tahu kata revolusi, tapi kenal kah? atau tahu definisi dari revolusi? Untuk kawan-kawan yang pernah sekolah, hahaha, pasti pernah belajar revolusi di pelajaran Sosiologi waktu SMP/SLTP, itu kalau waktu pelajaran gak bolos.
Revolusi adalah adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Sekarang sudah ingat (bagi yang sudah pernah tahu) kan? Menurutku pribadi, dari pengertian di atas, inti dari revolusi adalah perubahan. Revolusi terjadi tidak hanya cepat, tapi sangat cepat. Revolusi juga dapat terjadi pada tiap individu, tidak harus masyarakat yang menjadi subyek revolusi. Revolusi Individu –ini istilahku sendiri, tidak berlaku umum, hahaha—ini pun pernah terjadi pada ku. Tepatnya sekitar dua bulan yang lalu.
Aku adalah anak biasa dan pas-pasan, lahir dari keluarga pas-pasan, kemampuan ekonomi pas-pasan, otak pas-pasan, tampang pas-pasan, tinggi badan pas-pasan, malah sedikit banyak di bawah rata-rata. Bukan maksudku pesimis. Pas-pasan disini maksudnya, pas butuh duit pas punya, pas ulangan/ujian pas bisa ngerjain, pas nyontek pas gak ketahuan, pas ketemu cewek pas ganteng. Hahaha...
Dulu aku sekolah SMA di kota kecil bernama Banjarnegara, mungkin banyak yang tidak tahu, Banjarnegara berbatasan dengan Wonosobo—kalau Wonosobo pati tahu—di bagian barat. Jadi, Banjarnegara ada di sebelah barat Wonosobo. Di SMA ini lah aku bertemu dengan teman-teman yang sampai saat ini [dan selamanya] berkesan dalam hidupku. Kalian tahu kawan, teman-temanku itu terkenal dengan nama S.T.I.N.G. Kalau Andrea Hirata berkata bahwa tiap kejadian yang ada dalam hidup adalah keping mozaik yang menyusun hidup itu sendiri, maka masa SMA dengan S.T.I.N.G di dalam nya adalah kepingan mozaik yang terbesar dalam hidupku.
Setelah lulus pada April 2011, tentu semua anggota S.T.I.N.G sibuk cari universitas, termasuk juga aku. Setalah masa-masa galau karena sempat ditolak saat SNMPTN Undangan, akhirnya aku masuk di universitas ternama di Indonesia, UGM. Aku masuk lewat gerbang depan. Maksudnya tidak lewat pintu belakang. Ah, bodoh. Maksudnya lewat jalur Ujian Mandiri. Program Diploma III Teknik Sipil, aku menuntut ilmu di sana selama kurang lebih dua bulan. Kenapa bisa? Karena setelah dua bulan di UGM itu lah terjadi revolusi dalam hidupku.
Orang tuaku, terutama ibu sejak saat aku masih duduk di bangku SMP, bahkan mungkin SD, sudah memimpikan—maksudnya ingin—aku masuk STAN—Sekolah Tinggi Akuntansi Negara—karena STAN adalah Perguruan Tinggi Ikatan Dinas, jadi setelah lulus, langsung penempatan kerja. Sebenarnya, dulu aku tidak minat dengan itu, aku ingin masuk UGM. Bahkan sampai SMA kelas X, minat itu belum tumbuh, hingga akhirnya otakku bersenyawa dengan hatiku sendiri. Dan dalam sekejap, seluruh bagian keras (hardware)atapupun lembut (software)dalam diriku menentapkan STAN sebagai tujuan setelah aku lulus SMA. Alasannya simple saja, aku ingin mewujudkan mimpi Ibuku.
Tapi realitas kadang tak seindah ekspektasinya. Begitu pun aku. Jalan untuk tujuanku itu sangatlah berat. Tapi, itu tak akan sebanding dengan kebahagiaan melihat seorang ibu yang tersenyum bangga pada anaknya.haha.. Singkat cerita, setelah melalui tes yang takan bisa aku melewatinya tanpa doa orang tua, aku diterima STAN, Program D I Spesialisasi Pajak. Tapi revolusi tidak terjadi di sini, tapi setelahnya.
Selama ini, aku tidak pernah jauh dari orang tua, dari SD hingga SMA. Tapi sekarang aku harus jauh dari orang tua, sangat jauh bahkan. Pandidikan STAN dilaksanakan di daerah, dari 1500-an yang diterima, disebar di 12 lokasi pendidikan. Aku di Manado. Tempat yang tak pernah aku bayangkan. Bahkan aku baru tahu kalau Manado ada di Sulawesi Utara saat itu. Semua itu terjadi sangat cepat. Pengumuman STAN tanggal 4 November, dimana saat itu aku masih kuliah di UGM, dan harus registrasi tanggal 23-25 November di tempat pendidikan. Itu berarti aku hanya punya waktu kurang dari 19 hari untuk perpisahan dengan teman-teman di UGM, dan tentunya keluarga. Waktu yang singkat, sangat singkat. Waktu yang singkat itu masih kugunakan untuk mengurus surat-surat syarat regristrasi STAN, juga mengambil berkas-berkas yang tertinggal di Yogyakarta. Waktu yang singkat itu kurang. Sangat kurang. Bisa kawan bayangkan bagaimana rasanya saat kaki kalian—yang cowok—yang berbulu menempel kuat selotip dan ditarik tiba-tiba? Kira-kira begitulah perasaanku.
Tapi kalian tahu kawan, betapapun sakitnya perasaan kalian karena terpisah jauh dengan orang tua, tidakl ada separuh dari sakitnya perasaan orang tua yang jauh dari anaknya. Jadi bagi kalian yang sekarang jauh dari orang tua, mulai rencanakan untuk pulang sekadar menemui orang tua kalian.
see ya, .
kritik dan saran dibutuhkan,
0 comments:
Posting Komentar